Did you know that you can navigate the posts by swiping left and right?

RIP Enkripsi versus Kebijakan Pemerintah

19 Aug 2017 . category: IT . Comments
#Tech

Sudah menjadi rahasia umum, kebijakan kementerian yang paling banyak menyentuh segala lapisan masyarakat adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Dengan gaung kebijakan “blokir!”-nya, maka sekejap penjuru lapisan masyarakat megap-megap dan sesak nafas dibuatnya. Mulai dari tukang nasi uduk sampai para direktur perusahaan yang rela antre makan di warteg demi mendengar curahan kesamaan derita. Tak lain dan tak bukan, efek samping kebijakan pemblokiran oleh Kemkominfo.

Bagaimana bisa pemblokiran membuat semua orang sesak nafas, itu tak penting. Yang lebih penting dari itu semua adalah pertanyaan, kenapa hanya karena kebijakan pemblokiran mereka bisa sesak nafas?

Agaknya pemblokiran sudah menjadi fenomena rutin setiap pergantian rezim. Terasa ada yang kurang jika kebijakan pemblokiran dilewatkan begitu saja. Minimal sekali, lah, dalam satu periode. Melansir dari situs katadata.id 9 Oktober 2017, Kominfo telah mengucurkan anggaran sebesar 200 milyar demi sensor Internet. Meminjam sebuah potongan nada lagu Bang Iwan Fals yang terkenal, “Sekali lagi, blokir…!” Begitu seterusnya, dan seterusnya sepanjang musim pergantian menteri yang duduk di kursi, yang oleh rakyat jelata bilang, pituristik. Maka sesak nafas mereka pun berlanjut dan menjadi semakin akut….

Jika di Amerika pemblokiran hanya dilakukan para penggiat sekutiras dan atau mereka yang peduli tentang privasi, di Indonesia malah sebaliknya; para penggiat sekuritas profesional bekerja siang dan malam membangun standar sekuritas mumpuni agar privasi mereka tetap terjaga. Tidak berlebihan jika perumpamaan mereka tak kepalang tanggung, mirip buruh kasar di Indonesia.

Kalau tak percaya silakan bertanya kepada para programmers yang saling bertukar pikiran di group Telegram demi menyelesaikan sebuah projek, atau juga bisa bertanya langsung. Dijamin. Hanya melalui sorot tatapan sendu mereka, setelah ditanyakan, membuat penanya iba dan tak enak hati lagi melanjutkan dan langsung membelokkan arah pembicaraan ke hal-hal yang menyebalkan sekaligus membuat tali persaudaraan semakin erat, “Sue banget, deh, situs anu-anu diblokir sama pemerentah!”

Dan sesak nafas mereka sejenak kembali mereda.

Mereka, di Amerika sana, tidak butuh campur tangan pemerintah demi penanganan situs-situs merugikan. Ada semacam kaul umum, you don’t buy security, you configure it saking mawasnya terhadap perlindungan data dan privasi masing-masing. Bagi yang kelewat mawas rela menaruh lakban hitam di webcam komputer jinjing. Takut jika terdapat program jahat (malicious code) di Internet menyusup dan menangkap wajah pemilik. Bayangkan momen ketika program jahat tersebut diam-diam menangkap raut muka yang tak diinginkan melalui webcam.

Bagi mereka segala hal merugikan hanya bisa digapai jika tingkat sekuritas Internet lemah. Misalnya kasus Mass Surveillance yang dilakukan Pemerintah sendiri kepada rakyat dan dunia. Semenjak kasus-kasus yang diungkap mantan kontraktor intelijen NSA, Edward Snowden mencuat, mereka sama sekali tak percaya dengan campur tangan pemerintah dalam penanganan urusan “dapur Internet” masing-masing. Bagi mereka yang terpenting adalah membangun sekuritas software dan hardware semaksimal mungkin. Sebisa mungkin mencegah upaya campur tangan Pemerintah terhadap kebutuhan, privasi, dan sekuritas di Internet masyarakat umum. Intinya mereka tak ingin dibuat sesak nafas oleh Pemerintah.

Mereka mendirikan yayasan-yayasan (foundations) mandiri dan Hackthon atas dasar kesadaran atau inisiatif sejumlah kelompok yang tergabung dalam “anti megap-megap”. Bagi mereka perkara megap-megap dan sesak nafas adalah penyakit sungguhan dan harus segera ditangani. Kelompok anti megap-megap inilah kemudian berdiri dan terkenal kontribusinya di bidang pengembangan software seperti Linux, EFF (Electronic Frontier Foundation), Let’s Encrypt, Mastodon berbasis GNU, Tor, bahkan Telegram yang baru-baru mencuat dan santar di berita nasional.

Mungkin masih banyak contoh lain dari yang telah disebutkan, tetapi kesamaan mereka tetap pada satu visi pengembangan teknologi untuk bisa dinikmati bersama hari ini dan esok, tanpa takut privasi jatuh ke tangan yang tidak mereka inginkan.

Layiknya semboyan WikiLeaks, courage is contagious, bagi mereka ada benar dan manfaatnya bahwa kebaikan dan perbaikan untuk sesama gampang sekali menyebar, serta diperlukannya para inisiator pemberani. Terlebih terhadap kasus yang mencederai dan merugikan sekuritas dan privasi. Mereka tak canggung memasang tameng api (firewall) terhadap suatu kebijakan yang dinilai tidak mendukung sekuritas dan privasi publik. Meski harus menghabiskan banyak waktu, pikiran, dan tenaga demi perkembangan teknologi dan Internet, mereka rela tak dibayar dan bahkan hanya mengandalkan donasi kecil-kecilan dari masyarakat umum yang peduli dan merasakan manfaatnya langsung. Tanyakan hal serupa ke para…..

Ah, lebih baik membahas kenapa Kemkominfo tega bikin rakyat sesak nafas…

Tak ubahnya kelakuan pemerintah Indonesia yang semena-mena memperlakukan akses masyarakat ke suatu layanan. Celakanya, kehadiran teknologi enkripsi, menurut versi Pemerintah, tidak aman. Bisa dibilang pemerintah Indonesia memiliki phobia serupa sensor negara lain yang memusuhi enkripsi untuk melancarkan iktikad terselubung dibalik pengawasan dan pemantauan publik di Internet (mass surveillance) melalui jalan aman tanpa kendala enkripsi. Bedanya hanya sedikit, Indonesia tak perlu menerjunkan ahli IT dan programmer handal demi menciptakan suatu alat pengintai yang dapat menyusup perangkat publik diam-diam. Lha, wong bisanya hanya memakai dan mengawasi. Sedikit-sedikit, blokir saja, lah…

Sekiranya suatu layanan dan aplikasi menguntungkan, ya pertahankan. Sebaliknya jika dinilai membahayakan kepentingan tertentu, lagu Bang Iwan Fals kembali menggema, “Sekali lagi….” “Blokir!”

Kali ini layanan dan aplikasi Telegram menjumpai ajalnya di Indonesia setelah Menkominfo Rudiantara memerintahkan operator jaringan dan ISP memblokir versi web pada Jumat, 14 Juli lalu. Pula dengan dalih Presiden yang mengatasnamakan keamanan rakyat, enkripsi yang ada di Telegram harus dikorbankan. Dalam wacana berita, Telegram disinyalir menjadi alat komunikasi teroris. Untuk itu perlu bidikan headshot ke Telegram langsung.

Wacana eksekusi telegram sontak ramai diperbincangkan di Twitter dan sudah masuk berita Internasional. Sebelum Telegram dieksekusi total oleh the man behind the gun, Founder dan CEO Telegram, Pavel Durov sendiri sampai megap-megap dan demi meminta konfirmasi kepada Pemerintah. Terhitung sudah dua petinggi layanan teknologi dibuat megap-megap oleh pemerintah Indonesia, dari Bigo Live sampai Telegram.

Wacana eksekusi Telegram sekaligus menandai awal mula kematian teknologi mutakhir enkripsi (E2E Encryption) di tangan Pemerintah. Pertahanan enkripsi kuat yang dibangun segelintir umat yang paham betul mengenai pentingnya sekuritas dan privasi, kini terang-terangan dikencingi pemerintah Indonesia yang tak berkontribusi langsung terhadap perkembangannya. Terlepas dalih dan alasan di balik pemblokiran, kebijakan tersebut merupakan suatu upaya pengkerdilan sumbangsih dunia teknologi dan media percakapan yang sudah mapan.

Publik sudah memahami betul phobia Pemerintah terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi dan Internet. Di luar sana Indonesia sedang disaksikan jutaan pengguna lain yang menikmati perkembangan teknologi secara positif tanpa mengkhawatirkan sekuritas mereka ikut dikencingi oknum yang bersewenang-wenang mengkambinghitamkan kemajuan teknologi dan Internet, dalam hal ini pemerintah. Kepada sesuatu yang dapat mengancam sekuritas, persatuan, dan kesatuan Indonesia: seyogianya Pemerintah jika ingin memusnahkan kelompok berbahaya, tak lantas harus mengorbankan keseluruhan ekosistem yang ada di teknologi itu sendiri.


Me

Hallo! Saya, Chairil Anwar dari Jakarta. Biasanya saya suka menghabiskan waktu liburan di luar dan Internet. Kalau mau ngajak makan, boleh!