Did you know that you can navigate the posts by swiping left and right?
Belakangan ini, beberapa kalangan seniman sepakat bahwa pada hari kelahiran sastrawan Chairil Anwar, 26 Juli sebagai hari puisi nasional. Hal ini tentu saja berseberangan dengan pendapat pada umumnya, yang menyatakan bahwa hari puisi nasional diselenggarakan tepat di hari kematian Chairil Anwar, yaitu pada 28 April.
Usut punya usut, rupanya kesepakan para seniman yang menyatakan hari lahir Chairil Anwar sebagai hari puisi nasional bukan tanpa alsan. Ditengarai tanggal 26 Juli sebagai tonggak mengenang hari lahirnya tokoh Chairil Anwar sekaligus hari perpuisian nasional.
Bukan tanpa alasan, di Indonesia sendiri rupanya untuk mengenang hari bersejarah lazim menggunakan hari lahir tokoh yang bersangkutan. Sebut saja R.A. Kartini, yang memperjuangkan emansipasi wanita, lahir pada 21 April 1879. Selaras pula rutin setiap tanggal 21 April dirayakan sebagai hari Kartini. Begitu pula dengan hari Pahlawan Nasional yang jatuh setiap tanggal 10 November, ditengarai dari peristiwa bersejarah melawan tentara sekutu di Surabaya pada tahun 1945. Kemudian di setiap tanggal 17 Agustus pun seluruh lapisan masyarakat Indonesia serempak memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Selaras dengan proklamir Ir. Sukarno untuk kemerdekaan Indonesia seutuhnya.
Dari beberapa contoh penisbatan hari bersejarah yang telah ditetapkan di atas, seluruhnya bermuara pada satu: hari permulaan (starting point) sebagai cikal bakalnya. Lantas, ada apa dengan hari puisi nasional yang selama ini dilekatkan tepat di hari kematian Chairil Anwar. Seolah juga berseberangan dengan keidentikan pengambilan hari bersejarah di Indonesia lazimnya, yang notabennya berada pada suatu permulaan bersejarah.
Meski beberapa kalangan seniman terkemuka telah sepakat hari perpuisian nasional diselenggarakan tepat di hari kelahiran Chairil Anwar, seperti yang telah disebutkan. Rupanya langkah penetapan tersebut tidak membuat masyarakat Indonesia surut untuk merayakan hari puisi nasional tepat pada hari kematian Chairil Anwar.
Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan masyarakat Indonesia tetap berkiblat pada tanggal 28 April sebagai hari puisi nasional. Diantaranya; keterbatasan akses pengetahuan perubahan yang telah diikrarkan dari hasil pertemuan seniman tersebut, atau publikasi yang kurang memadai karena memang selama ini yang turut aktif di dalam kegiatan-kegiatan seniman hanya kalangan tertentu saja. Kemudian penetapan tanggal 28 April sudah terlanjur dikenal luas oleh masyarakat sehingga tanpa disadari telah mengakar kuat dan sulit untuk dilakukan perombakan ulang. Ditambah penetapan hari puisi nasional memang belum secara resmi ditetapkan oleh pemerintah, sehingga menegaskan segala sesuatu yang muncul dari kesepakatan masyarakat secara alamiah sulit dibendung.
Akan tetapi saya memiliki pendapat berbeda. Beberapa kalangan boleh berupaya melakukan perombakan ulang penetapan hari puisi nasioanal dengan alasannya tersendiri, meski tetap bermuara pada satu atap tokoh yang sama, Chairil Anwar. Di sisi lain penetapan tanggal 28 April tidak hanya menyentuh tokoh yang dikenakan. Dalam artian masyarakat Indonesia turut memperingati hari kematian Chairil Anwar sebagai hari puisi nasional tidak melulu berkutat di segala hal yang harus dikenang pada sosok Chairil Anwar. Lebih dari itu masyarakat Indonesia secara tidak langsung melanjutkan tradisi berpuisinya meski secara simbolik, lebih tepatnya in reality tokoh yang dikenakan sudah meninggal.
Kecenderungan masyarakat Indonesia untuk melanjutkan tradisi berpuisinya dinilai sangat tepat di hari kematiannya, mengingat salah satu puisinya yang terkenal, Aku, Chairil Anwar pernah menuliskan, “Aku mau hidup seribu tahun lagi.”
Jika menghitung umur manusia pada umumnya, dalam hal ini Chairil Anwar, secara biologis mustahil sanggup bertahan hidup sampai usia seribu tahun lamanya. Ditambah penyair yang telah berkomitmen menggeluti bidangnya semenjak usia lima belas tahun ini meninggal di usia yang sangat muda, yaitu 27 tahun. Adalah hal yang wajar jika masyarakat berduyun-duyun sepakat melanjutkan jiwanya, semangatnya yang tidak pernah padam.
Kecenderungan untuk melanjutkan tradisi berpuisi ini pula sejatinya yang sudah tertanam pada masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat tidak ada yang tidak mengenal bagaimana cara menuangkan emosi melalui puisi. Mulai dari tingkat pelajar yang sudah mengenal baca tulis hingga mereka yang secara khusus mempersembahkan jalur hidupnya sebagai seorang sastrawan atau penyair.
Di sini ada esensi yang berkesinambungan antara rangkaian kutipan puisi yang ditulis Chairil Anwar dengan tradisi berpuisi lapisan masyarakat. Disamping pula untuk turut mengenang tokoh pelopor perpuisian modern ini. Sekaligus menegaskan bahwa sejatinya tradisi berpuisi tidak hanya dimiliki oleh salah satu tokoh atau kalangan tertentu saja karena sifatnya yang universal.